Kamis, 05 Februari 2015

Syarat Sah Shalat

ARTI dan Pengertian SYARAT
Syarat dari sesuatu ialah segala hal
yang menentukan keberadaan sesuatu
itu, tetapi tidak termasuk
daripadanya. Contohnya tanaman.
Untuk keberadaan tanaman di muka
bumi, diperlukan hujan. Tapi kita tahu,
bahwa hujan itu tidak termasuk
tanaman itu. Jadi, hujan adalah syarat
bagi adanya tanaman. Sekarang apakah
syarat-syarat sahnya shalat? Menurut
Imam Syafi’i RH, syarat-syarat sahnya
shalat ringkasnya ada empat perkara
sebagai berikut:
1. BERSUCI (THAHARAH)
Yang dimaksud bersuci, telah anda
ketahui pada bab Thaharah, yaitu
terbagi menjadi bermacam-macam,
yang maisng-masing harus terpenuhi
demi sahnya shalat, yakni:
a. Suci tubuh dari
hadats.
Artinya, orang
yang berhadats
tidak sah
shalatnya, baik
karena hadats
kecil –yakni tidak
punya wudhu’-
maupun hadats
besar, seperti
janabat . Karena
Rasulullah SAW
bersabda dalam
sebuah hadits
shahih: ﻻَﺗُﻘْﺒَﻞُ ﺻَﻼَﺓٌ
ﺑِِﻐَﻴْﺮِ ﻃَﻬُﻮْﺭٍ ‏( ﺭﻭﺍﻩ
ﻣﺴﻠﻢ 224 ) Tidak
diterima shalat
tanpa bersuci
(H.R. Muslim: 224)
b. Suci tubuh dari
najis . Tentang apa
yang dimaksud
dengan najis dan
apa pula macam-
macamnya juga
telah anda ketahui
dalam bab
Thaharah. Adapun
dalilnya ialah sabda
Nabi SAW mengenai
dua orang yang
disiksa dalam
kuburnya:
ﺍَﻣَّﺎ ﺍَﺣَﺪُﻫُﻤَﺎ
ﻓَﻜَﺎﻥَ
ﻻَﻳَﺴْﺘَﺒْﺮِﺉُ ﻣِﻦَ
ﺍﻟْﺒَﻮْﻝِ‏(ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ 215
ﻭﻣﺴﻠﻢ 292 )
Adapun salah
seorang dari
keduanya, dulu dia
tidak
membersihkan diri
dari air seni. (H.R.
al-Bukhari: 215,
dan Muslim: 292).
Menurut riwayat
lain: (301) tidak
menghalangi diri;
sedang riwayat lain
mengatakan:
(302), tidak
memberikan diri.
Semuanya shahih,
karena maksudnya
sama, yaitu:
menghindarkan dan
memelihara diri.
Dan najis-najis lain
yang bermacam-
macam adalah
sama dengan air
seni. Nabi SAW
pernah berkata
kepada Fatimah
binti Abu Hubaisy
RA:
ﻓَﺎِﺫَﺍ ﺍَﻗْﺒَﻠَﺖِ
ﺍﻟْﺤَﻴْﻀَﺔُ
ﻓَﺎﺗْﺮُﻛِﻰ
ﺍَﻟﺼَّﻼَﺓَ،
ﻓََﺎِِﺫََﺍﺫَﻫَﺐَ
ﻗَﺪْﺭُﻫﺎَﻓَﺎﻏْﺴِﻠِﻰ
ﻋَﻨْﻚِ ﺍﻟﺪَّﻡَ
ﻭَﺻَﻠِّﻰ
Apabila haid itu
datang, maka
tinggalkan shalat.
Lalu, apabila telah
lewat waktu
seukurannya, maka
mandilah (dengan
membersihkan)
darah darimu, dan
shalatlah. (H.R.
al-Bukhari: 266,
dan Muslim: 333).
c. Suci pakaian
dari najis. Jadi,
tidak cukup hanya
dengan bersihnya
tubuh dari najis
saja, tetapi harus
pula dengan
bersihnya pakaian
yang dikarenakan,
dari semua najis.
Adapun dalilnya
ialah firman Allah
‘Azza Wa Jalla:
Dan pakaianmu,
maka sucikanlah.
( Q.S. al-
Muddatstsir: 4)
Abu Daud (365)
telah
meriwayatkan dari
Abu Hurairah RA:
ﺍَﻥَّ ﺣَﻮْﻟَﺔَ ﺑِﻨْﺖَ
ﻳَﺴَﺎﺭٍﺍَﺗَﺖِ
ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ
ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﻘﺎَﻟَﺖْ :
ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ، ﺍِﻧَّﻪُ
ﻟَﻴْﺲَ ﻟِﻰ ﺍِﻻَّ
ﺛَﻮْﺏٌ ﻭَﺍﺣِﺪٌ،
ﻭَﺍَﻧﺎَﺍَﺣِﻴْﺾُ
ﻓِﻴْﻪِ، ﻓَﻜَﻴْﻒَ
ﺍَﺻْﻨَﻊُ؟ ﻗﺎَﻝَ
ﺍِﺫَﺍﻃَﻬُﺮْﺕِ
ﻓَﺎَﻏْﺴِﻠِﻴْﻪِ، ﺛُﻢَّ
ﺻَﻠِّﻰ ﻋَﻠَﻴْﻪِ،
ﻓَﻘﺎَﻟَﺖْ : ﻓَﺎِﻥْ ﻟَﻢْ
ﻳَﺨْﺮُﺝِ ﺍﻟﺪَّﻡُ؟
ﻗﺎَﻝَ: ﻳَﻜْﻔِﻴْﻚِ
ﻏَﺴْﻞُ ﺍﻟﺪَّﻡِ،
ﻭَﻻَﻳَﻀُﺮُّﻩُ ﺍَﺛَﺮُﻩُ
Bahwa Khaulah
binti Yasar datang
kepada Nabi SAW
lalu berkata: “Ya
Rasul Allah,
sesungguhnya aku
hanya memiliki
satu pakaian saja,
sedang aku berhaid
padanya. Maka,
apakah yang harus
aku lakukan?”
Jawab Nabi:
“Apakah kamu
sudah suci, maka
cucilah pakaian itu,
kemudian shalatlah
dengannya.”
Khaulah berkata:
“Kalau darah itu
tidak mau hilang?”
Kata Nabi: “Kamu
cukup mencuci
darah saja, sedang
bekasnya tidak
mengapa”.
d. Suci tempat
dari najis.
Dan yang di
maksud tempat di
sini hanyalah
tempat yang
digunakan untuk
shalat saja. Antara
lain, tempat yang
terletak antara
pijakan kaki sampai
ke letak sujud,
yakni yang
bersentuhan
dengan salah satu
bagian tubuh
ketika shalat.
Adapun yang tidak
bersentuhan
dengan tubuh,
maka tidaklah
mengapa sekalipun
najis.
Contohnya, tempat
yang setentang
dengan dada
ketika ruku’ dan
sujud. Adapun dalil
yang menunjukkan
syarat ini ialah
perintah Nabi SAW
supaya
menuangkan air
pada tempat yang
dikencingi oleh
seorang A’rabi
dalam masjid.
(H.R. al-Bukhari:
217).
Dan juga, karena
dikiaskan kepada
pakaian. Sebab,
tempat pun seperti
pakaian, yakni
sama-sama
bersentuhan
dengan tubuh.
2. MENGETAHUI MASUKNYA WAKTU
Dalam hal ini anda sudah mengerti,
bahwa masing-masing dari shalat
fardhu mempunyai waktu sendiri-
sendiri yang wajib ditepati. Hanya saja,
yang dipersyaratkan bukanlah sekedar
shalat itu menepati waktunya, tetapi
orang yang shalat juga harus tahu
bahwa waktunya benar-benar telah
masuk, sebelum melakukan shalat.jadi,
orang yang tidak mengetahui masuknya
waktu, tidaklah sah shalatnya,
sekalipun sesudah itu ternyata
shalatnya itu menepati waktunya
seperti yang disyari’atkan.
CARA MENGETAHUI MASUKNYA
WAKTU
Masuknya waktu shalat bisa diketahui
dengan salah satu dari tiga cara
berikut ini:
a. Pengetahuan
yang yakin , yaitu
dengan bersandar
pada buki nyata,
seperti melihat
matahari saat ia
terbenam ke balik
laut.
b. Ijtihad, yaitu
dengan bersandar
pada petunjuk-
petunjuk yang
bersifat
persangkaan
(zhanniyah), yakni
yang
penunjukannya
tidak langsung,
seperti bayang-
bayang, atau
dengan
memperkirakan
lamanya
pekerjaan.
c. Taqlid, yaitu
apabila mengetahui
secara yakin
maupun ijtihad
tidak mungkin
dilakukan, seperti
halnya orang yang
sama sekali
mengerti tentang
waktu-waktu
shalat dan tanda-
tandanya. Dia
boleh bertaqlid
kepada orang alim
yang bersandar
pada bukti nyata,
atau pun kepada
orang yang
berijtihad, yakni
yang bersandar
kepada petunjuk-
petunjuk
zhanniyah.
HUKUM-HUKUM DI
LUAR WAKTU
Apabila ternyata
bagi seseorang
bahwa shalatnya
telah dilakukan
sebelum masuknya
waktu, maka
shalatnya dianggap
batal dan wajib
diulangi, baik
orang itu
bersandar kepada
pengetahuan,
ijtihad maupun
taqlid.
3. MENUTUP AURAT
Inilah syarat ketiga di antara syarat-
syarat sahnya shalat. Untuk
mengetahui syarat ini lebih dalam,
patut diterangkan beberapa hal sebagai
berikut:
a. Arti aurat
Menurut syara’ ,
yang dimaksud
aurat ialah segala
yang wajib di tutup
dan haram dilihat.
b. Batas-batas
aurat dalam shalat
Bagi laki-laki,
batas-batas aurat
ialah bagian tubuh
antara pusat dan
lutut.
Jadi, dalam shalat
tidak boleh ada
sesuatu pun di
antaranya yang
nampak. Sedang
bagi wanita,
auratnya adalah
seluruh tubuhnya
selain wajah dan
dua telapak
tangan. Jadi,
hanya itulah yang
boleh nampak
dalam shalat,
selain itu tidak
boleh. Allah Ta’ala
berfirman:
Pakailah pakaianmu
yang indah di
Setiap (memasuki)
mesjid. (Q.S.
al-‘A’raf: 31).
Kata Ibnu Abbas
RA: “Yang
dimaksud ialah
pakaian ketika
shalat”. (Mughni
‘l-Muhtaj 1 184)
At-Tirmidzi (277)
telah
meriwayatkan
sebuah hadits
dengan
menganggapny
hasan, dari ‘Aisyah
RA, dia berkata:
Sabda Rasulullah
SAW:
ﻻَﺗُﻘْﺒَﻞُ ﺻَﻼَﺓُ ﺍﻟْﺤَﺎﺋِﺾِ ﺍِﻻَّ
ﺑِﺨِﻤَﺎﺭٍ
Tidak diterima
shalat seseorang
wanita yang telah
dewasa selain
dengan tutup
kepala.
Al-Ha’idah: wanita
yang berhaid. Yang
dimaksud wanita
yang telah dewasa,
karena wanita
dewasa berarti
telah mencapai
umut mengalami
haid.
Al-Khimar: tutup
kepaa wanita.
Kalau menutup
kepala saja wajib,
apalagi menutup
selutuh tubuh.
c. Batas-batas
aurat diluar shalat
Aurat laki-laki
terhadap sesama
lelaki yang mana
pun, dan terhadap
wanita muhrimnya,
adalah antara
pusar dan lutut.
Adapun terhadap
wanita bukan
muhrim maka
auratnya ialah
seluruh tubuhnya
selain wajah dan
telapak tangan,
demikian menurut
pendapat yang
mu’tamad .
Maksudnya, wanita
yang bukan muhrim
tidak
diperkenankan
melihat kepada
laki-laki, selain
wajah dan
tangannya saja.
Dana kalau disertai
dengan syahwat,
maka melihat ajah
pun haram
hukumnya.
Allah ta’ala
berfirman:
Katakanlah kepada
wanita yang
beriman:
"Hendaklah mereka
menahan
pandangannya, dan
memelihara
kemaluannya. (Q.S.
An-Nur: 31).
Adapun aurat
wanita terhadap
sesama wanita
muslimat ialah
bagian tubuhnya
antara pusat dan
lutut. Sedang
terhadap wanita
kafir adalah
seluruh tubuh,
selain yang tak
bisa ditutupi
lantaran harus
melakukan suatu
pekerjaan, seperti
mengurus rumah
tangga dan lain-
lain.
Adapun aurat
wanita terhadap
laki-laki
muhrimnya, adalah
bagian tubuhnya
antara pusat dan
lutut. Maksudnya,
wania boleh
menampakkan
bagian-bagian
tubuh selebihnya di
hadapan mereka,
dengan syarat
tidak
dikhawatirkan
terjadi fitnah. Tapi
kalau sekiranya
bakal terjadi
fitnah, maka hal
itu tidak bolek.
Allah Ta’ala
berfirman:
Dan janganlah
wanita
Menampakkan
perhiasannya,
kecuali yang
(biasa) nampak
dari padanya. dan
hendaklah mereka
menutupkan kain
kudung kedadanya,
dan janganlah
Menampakkan
perhiasannya
kecuali kepada
suami mereka,
atau ayah mereka,
atau ayah suami
mereka, atau
putera-putera
mereka, atau
putera-putera
suami mereka,
atau saudara-
saudara laki-laki
mereka, atau
putera-putera
saudara lelaki
mereka, atau
putera-putera
saudara perempuan
mereka, atau kaum
wanita mereka.
(Q.S. An-Nur:
31).
Az-Zinah:
perhiasan,
ditafsirkan
tempat-tempatnya
yang ada di atas
pusat dan di bawah
lutut.
Nisa’ihinna: kaum
wanita mereka.
Maksudnya,
wnaita-wanita
muslimat. Sedang
aurat wanita
terhadap lelaki
bukan muhrim,
adalah seluruh
tubuh. Jadi,
mereka tidak
diperkenankan
menyingkapkan
sedikit pun dari
tubuhnya terhadap
lelaki yang bukan
muhrim, kecuali
karena uzur.
Demikian pula
lelaki tidak boleh
memandang
mereka, jika ada
sesuatu dari tubuh
mereka yang
terbuka. Allah
Ta’ala berfirman:
Katakanlah kepada
orang laki-laki
yang beriman:
"Hendaklah mereka
menahan
pandanganya, dan
memelihara
kemaluannya; yang
demikian itu adalah
lebih suci bagi
mereka. (Q.S. An-
Nur: 30).
Al-Bukhari (365)
telah
meriwayatkan dari
‘Aisyah RA, dia
berkata:
ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ
ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ
ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ
ﻳُﺼَﻠِّﻰ ﺍﻟْﻔَﺠْﺮَ،
ﻓَﻴَﺸْﻬَﺪُ ﻣَﻌَﻪُ
ﻧِﺴَﺎﺀٌ ﻣِﻦَ
ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨَﺎﺕِ،
ﻣُﻠْﺘَﻔِﻌَﺎﺕٍ ﻓِﻰ
ﻣُﺮُﻭْﻃِﻬِﻦَّ، ﺛُﻢَّ
ﻳَﺮْﺟِﻌْﻦَ ﺍِﻟَﻰ
ﺑَﻴْﺘِﻬِﻦَّ،
ﻣَﺎﻳَﻌْﺪِﻓُﻬُﻦَّ
ﺍَﺣَﺪٌ
Sesungguhnya
Rasulullah SAW
melakukan shalat
Shubuh, ada
beberapa orang
waniat mu’minat
hadir bersama
beliau, dalam
keadaan tertutup
dengan pakaian
mereka, sesudah
itu mereka kembali
ke rumah mereka,
tanpa ada seorang
pun yang
mengenali mereka.
Multafi’atin fi
muruthihinna:
berkerudung rapat
dengan pakaian
mereka: dari kata
al-Lifa’.
Al-lifa’: baju yang
menutupi sekujur
tubuh.
d. Uzur-uzur yang
memperbolehkan
membuka aurat
Adapun uzur-uzur
yang
memperbolehkan
wanita membuka
aurat dan boleh
dipandang ialah:
1. Ketika dipinang
untuk dinikah.
Ketika itu boleh
memandang
kepada wajah dan
dua telapak
wanita. Dan hal itu
akan dijelaskan
lebih lanjut dalam
bab Nikah.
2. Memandang
wanita dlam
rangka memberi
kesaksian, atau
karena
kepentingan
mu’amalat.
Dalam hal ini
hanya
diperbolehkan
memandang
kepada wajahnya
saja, apabila hal
itu perlu benar
untuk mengenali
wanita tersebut,
sedang ia tidak
bisa dikenali selain
dengan
memandang
kepalanya.
3. Untuk keperluan
pengobatan.
Dalam hal ini
diperkenankan
membuka aurat
dan memandang
kepada wanita
seperlunya saja.
Muslim (2206)
telah
meriwayatkan dari
Jabir bin Abdullah
RA:
ﺍَﻥَّ ﺍُﻡَّ ﺳَﻠَﻤَﺔَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ
ﻋَﻨْﻬَﺎﺍﺳْﺘََﺄْﺫَﻧَﺖْ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ
ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓِﻰ ﺍﻟْﺤِﺠَﺎﻣَﺔِ،
ﻓَﺎَﻣَﺮَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍَﺑَﺎ ﻃَﻴْﺒَﺔَ ﺍَﻥْ ﻳَﺤْﺠُﻤَﻬَﺎ
Bahwasanya Ummu
Salamah RA pernah
meminta izin
kepada Rasulullah
SAW untuk
bercanduk. Maka,
Nabi SAW
menyuruh Abu
Thaibah
mencanduknya.
Namun demikian,
hal itu masih
dipersyaratkan
dengan disaksikan
oleh muhrim atau
suaminya, dan
sudah tidak ada
sesama wanita
yang mampu
mengobatinya.
Begitu pula apabila
sudah ada dokter
muslim, lelaki atau
perempuan, maka
tidak boleh
berpaling kepada
selainya.
4. MENGHADAP KIBLAT
Menghadap kiblat
adalah syarat
keempat di antara
syarat-syarat
sahnya shalat.
Sedang yang
dimaksud kiblat
ialah Ka’bah al-
Musyarrafah.
Artinya, hendaklah
Ka’bah menjadi
hadapan ketika
shalat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar