Kamis, 05 Februari 2015

Mengetahui Waktu Waktu Shalat Fardhu

Shalat yang lima mempunyai waktu
sendiri-sendiri, yang ada permulaannya
sehingga tidak sah bila dilakukan
sebelum waktunya, dan mempunyai
batas akhir sehingga tidak boleh
dilakukan sesudahnya. Allah Ta’ala
berfirman:
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu
yang ditentukan waktunya atas orang-
orang yang beriman. (Q.S. an-Nisa’:
103).
Maksudnya, shalat itu merupakan
kewajiban yang telah ditentukan
waktunya sendiri-sendiri. Dalan
hadits-hadits shahih dinyatakan, bahwa
Jibril AS datang kepada Nabi SAW
sesudah difardhukannya shalat lima
waktu, dia ajarkan kepada Nabi waktu
untuk masing-masing shalat secara
tepat, baik mulainya maupun
berakhirnya. (Lihat: Sunan Abu Daud ,
Kitab ‘sh-Shalat, Bab Ma Ja’afi ‘l-
Mawaqit, no: 393; dan at-Tirmidzi:
Bagian pertama Kitabu ‘sh-Shalat, no:
149).
Dan demikian pula, hal itu diterangkan
oleh Rasulullah SAW kepada kaum
muslimin, baik dengan perkataan
maupun perbuatan beliau. Adapun
hadits yang menerangkan tentang
waktu-waktu shalat yang lima, ialah
hadits yang diriwayatkan oleh Muslim
(614) dan lainnya, dari Abu Musa al-
Asy’ari RA, dari Nabi SAW:
ﺍَﻧَّﻪُ ﺍَﺗَﺎﻩُ ﺳَﺎﺋِﻞٌ ﻳَﺴْﺄَﻟُﻪُ ﻋَﻦْ
ﻣَﻮَﺍﻗِﻴْﺖِ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ ﻓَﻠَﻢْ ﻳُﺮَﺩُّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
ﺷَﻴْﺌًﺎ، ﻭَﻓِﻰ ﺭِﻭَﺍﻳَﺔٍ ﺍُﺧْﺮَﻯ ﻗَﺎﻝَ :
ﺍِﺷْﻬَﺪْ ﻣَﻌَﻨَﺎ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَ، ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﺎَﻗَﺎﻡَ
ﺍﻟْﻔَﺠْﺮَ ﺣِﻴْﻦَ ﺍﻧْﺸَﻖَّ ﺍﻟْﻔَﺠْﺮُ،
ﻭَﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻻَﻳَﻜَﺎﺩُ ﻳَﻌْﺮِﻑُ ﺑَﻌْﻀُﻬُﻢْ
ﺑَﻌْﻀَﺎ، ﺛُﻢَّ ﺍَﻣَﺮَﻩُ ﻓَﺎَﻗَﺎﻡَ ﺑِﺎﻟﻈُّﻬْﺮِ
ﺣِﻴْﻦَ ﺯَﺍﻟَﺖِ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ، ﻭَﺍﻟْﻘَﺎﺋِﻞُ
ﻳَﻘُﻮْﻝُ : ﻗَﺪِ ﺍﻧْﺘَﺼَﻒَ ﺍﻟﻨَّﻬَﺎﺭُ ﻭَﻫُﻮَ
ﻛَﺎﻥَ ﺍَﻋْﻠَﻢَ ﻣِﻨْﻬُﻢْ، ﺛُﻢَّ ﺍَﻣَﺮَﻫُﻢْ
ﻓَﺎَﻗَﺎﻡَ ﺑِﺎﻟْﻌَﺼْﺮِ ﻭَﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ
ﻣُﺮْﺗَﻔِﻌَﺔٌ، ﺛُﻢَّ ﺍَﻣَﺮَﻩُ ﻓَﺎَﻗَﺎﻡَ
ﺑِﺎﻟْﻤَﻐْﺮِﺏِ ﺣِﻴْﻦَ ﻭَﻗَﻌَﺖِ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ،
ﺛُﻢَّ ﺍَﻣَﺮَﻩُ ﻓَﺎَﻗَﺎﻡَ ﺍﻟْﻌِﺸَﺎﺀَ ﺣِﻴْﻦَ
ﻏَﺎﺏَ ﺍﻟﺸَّﻔَﻖُ . ﺛُﻢَّ ﺍَﺧَّﺮَ ﺍﻟْﻔَﺠْﺮَ ﻣِﻦَ
ﺍﻟْﻐَﺪِ، ﺣَﺘَّﻰ ﺍﻧْﺼَﺮَﻑَ ﻣِﻨْﻬَﺎ
ﻭَﺍﻟْﻘَﺎﺋِﻞُ ﻳَﻘُﻮْﻝُ: ﻗَﺪْ ﻃَﻠَﻌَﺖِ
ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ ﺍَﻭْ ﻛَﺎﺩَﺕْ، ﺛُﻢَّ ﺍَﺧَّﺮَ
ﺍﻟﻈُّﻬْﺮَ ﺣَﺘَّﻰ ﻛَﺎﻥَ ﻗَﺮِﻳْﺒًﺎ ﻣِﻦْ
ﻭَﻗْﺖِ ﺍﻟْﻌَﺼْﺮِ ﺑِﺎْﻻَﻣْﺲِ، ﺛُﻢَّ ﺍَﺧَّﺮَ
ﺍﻟْﻌَﺼْﺮَ ﺣَﺘَّﻰ ﺍﻧْﺼَﺮَﻑَ ﻣِﻨْﻬَﺎ
ﻭَﺍﻟْﻘَﺎﺋِﻞُ ﻳَﻘُﻮْﻝُ: ﻗَﺪِ ﺍﺣْﻤَﺮَّﺕِ
ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ، ﺛُﻢَّ ﺍَﺧَّﺮَ ﺍﻟْﻤَﻐْﺮِﺏِ ﺣَﺘَّﻰ
ﻛَﺎﻥَ ﻋِﻨْﺪَ ﺳُﻘُﻮْﻁِ ﺍﻟﺸَّﻔَﻖِ، ﺛُﻢَّ
ﺍَﺧَّﺮَ ﺍﻟْﻌِﺸَﺎﺀَ ﺣَﺘَّﻰ ﻛَﺎﻥَ ﺛُﻠُﺚُ
ﺍﻟَّﻴْﻞِ ﺍْﻻَﻭَّﻝِ، ﺛُﻢَّ ﺍَﺻْﺒَﺢَ، ﻓَﺪَﻋَﺎ
ﺍﻟﺴَّﺎﺋِﻞَ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﺍﻟْﻮَﻗْﺖُ ﺑَﻴْﻦَ
ﻫَﺬَﻳْﻦِ
Bahwa telah datang kepada beliau
seseorang yang menanyakan kepada
beliau tentang waktu-waktu shalat.
Maka, beliau tidak menjawabnya sedikit
pun. Dan menurut suatu riwayat lain ,
beliau bersabda: “Ikutilah shalat
bersama kami.” Kata Abu Musa: Maka
Nabi mendirikan shalat Shubuh ketika
terbit fajar, sedang orang-orang
hampir tidak mengenali sesamanya.
Kemudian Nabi menyuruh orang tadi
memperhatikan, lalu beliau mendirikan
shalat Zhuhur ketika matahari telah
tergelincir. Sedang penanya itu
berkata: “Sesungguhnya telah tiba
pertengahan siang.” Dan nabi tentu
lebih tahu daripada orang-orang
lainnya. Maka, kemudian Nabi menyuruh
mereka memperhatikan, lalu
mendirikan shalat ‘Ashar, sedang
matahari masih tinggi. Kemudian, Nabi
menyuruh penanya tadi
memperhatikan, lalu mendirikan shalat
maghrib ketika matahari telah
terbenam. Kemudian Nabi menyuruhnya
memperhatikan pula. Lalu mendirikan
shalat ‘Isya’ ketika mega merah telah
tiada. Kemudian besoknya, Nabi
mengakhirkan shalat Shubuh, sehingga
beliau usai daripadanya, sedang
penanya itu berkata: “Sesungguhnya
matahari telah atau hampir terbit.”
Kemudian Nabi mengakhiri shalat
Zhuhur sampai mendekati waktu ‘Ashar
yang kemarin. Kemudian, beliau
mengakhirkan shalat ‘Ashar sampai usai
daripadanya, sedang penanya itu
mengatakan: “Sesungguhnya matahari
telah berwarna merah.”
Kemudian beliau mengakhirkan shalat
Maghrib sampai saat hilangnya mega
merah. Kemudian beliau mengakhirkan
shalat ‘Isya’ sampai saat sepertiga
malam yang pertama. Kemudian beliau
melakukan shalat Shubuh, maka
dipanggilnya penanya tadi, lalu sabda
beliau: “Waktu shalat adalah di antara
kedua waktu tadi.” Insyaqqa ‘l-fajru:
nampak cahaya fajar.
Zalat: matahari condong dari
pertengahan langit.
As-Syafaq: warna merah yang nampak
sesudah terbenamnya matahari.
Suquthu’ ‘sy-Syafaq: jatuhnya mega
merah; yang dimaksud hilangnya. Dan
di sana masih banyak lagi hadits-hadits
yang menerangkan beberapa hal yan
mujmal mengenai waktu, atau
menambah keterangan mengenainya,
sebagaimana yang akan anda lihat
dalam keterangan lebih lanjut mengenai
waktu tiap-tiap shalat sebagai
berikut:
SHUBUH
Waktu Shubuh mulia masuk apabila
telah nampak Fajar Shadiq, dan
berlangsung sampai terbitnya
matahari. Rasululah SAW bersabda:
ﻭَﻗْﺖُ ﺻَﻼَﺓِ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢِ ﻣِﻦْ ﻃُﻠُﻮْﻉِ
ﺍﻟْﻔَﺠْﺮِ ﻣَﺎﻟَﻢْ ﺗَﻄْﻠُﻊِ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ
Waktu shalat Shubuh adalah sejak
terbitnya fajar (dan berlangsung)
selagi matahari belum terbit.
ZHUHUR
Waktu Zhuhur dimulai dengan
condongnya matahari dari pertengahan
langit ke arah barat -yang mereka
sebut waktu Zawal- di mana orang
dapat melihat bayang-bayang pendek
yang mulai memanjang ke arah timur -
yang mereka sebut bayang-bayang
Zawal-.
Dan waktu Zhuhur ini berlangsung
sampai saat panjang bayang-bayang
sesuatu sama dengannya, ditambah
bayang-bayang Zawal yang merupakan
tanda mulai masuknya waktu Zhuhur.
Muslim (612) meriwayatkan bahwa
Rasulullah SAW bersabda:
ﻭَﻗْﺖُ ﺍﻟﻈُّﻬْﺮِ ﺍِﺫَﺍ ﺯَﺍﻟَﺖِ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ،
ﻭَﻛَﺎﻥَ ﻇِﻠُّﺎ ﻟﺮَّﺟُﻠِﻚَ ﻃُﻮْﻟِﻪِ ٬ﻣَﺎﻟَﻢْ
ﻳَﺤْﻀُﺮِ ﺍﻟْﻌَﺼْﺮُ
Waktu Zhuhur adalah apabila matahari
telah condong, dan (berlangsung
sampai saat) bayang-bayang seseorang
sepanjang tubuhnya, yakni selagi waktu
‘Ashar belum tiba.
‘ASHAR
Waktu ‘Ashar mulai masuk dengan
berakhirnya waktu Zhuhur, dan
berlangsung sampai terbenamnya
matahari. Hal itu ditunjukkan oleh
sabda Nabi SAW:
ﻭَﻣَﻦْ ﺍَﺩْﺭَﻙَ ﺭَﻛْﻌَﺔً ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌَﺼْﺮِ
ﻗَﺒْﻞَ ﺍَﻥْ ﺗَﻐْﺮُﺏَ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ ﻓَﻘَﺪْ
ﺍَﺩْﺭَﻙَ ﺍﻟْﻌَﺼْﺮَ
Barangsiapa dapat mengejar satu
rakaat dari shalat ‘Ashar sebelum
terbenamnya matahari, maka berarti
dia telah dapat mengejar shalat ‘Ashar
seluruhnya. (H.R. al-Bukhari: 554, dan
Muslim: 608).
Akan tetapi untuk memperoleh waktu
ikhtiar (leluasa), hendaklah orang tidak
menggunakan shalat ‘Ashar sampai
melampaui saat bayang-bayang
sesuatu sepanjang dua kali lipatnya,
ditambah bayang-bayang Zawal.
Dikarenakan adanya hadits mengenai
waktu tersebut di atas, dan juga
karena Nabi SAW bersabda:
ﻭَﻭَﻗْﺖُ ﺍﻟْﻌَﺼْﺮِﻣَﺎﻟَﻢْ ﺗَﺼْﻔَﺮَّ
ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ
Dan waktu ‘Ashar adalah selagi
matahari belum menguning. (H.R.
Muslim: 612).
Yaitu hadits yang pengertiannya
dibawa kepada waktu ikhtiar.
MAGHRIB
Waktu Maghrib diawali dengan
terbenamnya matahari, dan
berlangsung sampai hilangnya mega
merah tanpa meninggalkan bekas lagi
di arah barat. Dan mega merah (asy-
Syafaqul ahmar) yang dimaksud ialah
sisa-sisa dari bekas cahaya matahari
yang nampak di cakrawala sebelah
timur ketika terbenamnya matahari,
yang selanjutnya diusir oleh kegelapan
sehingga hilang sedikit demi sedikit.
Dan apabila kegelapan elah menutupi
segala penjuru, termasuk cakrawala
sebelah barat, dan sisa mega merah
telah tiada lagi, maka itu berarti
waktu Maghrib telah berakhir, sedang
waktu ‘Isya mulai masuk. Hal itu
ditunjukkan oleh hadits tentang waktu,
di samping sabda Rasulullah SAW
berikut ini:
ﻭَﻗْﺖُ ﺍﻟْﻤَﻐْﺮِﺏِ ﻣَﺎﻟَﻢْ ﻳَﻐِﺐِ
ﺍﻟﺸَّﻔَﻖُ
Waktu Maghrib adalah selagi merah
merah belum lenyap. (H.R. Muslim:
612).
‘ISYA
Waktu ‘Isya mulai dengan berakhirnya
waktu Maghrib, dan berlangsungnya
sampai terbitnya fajar shadiq. Tetapi
waktunya yang leluasa (ikhtiar),
hendaklah jangan sampai melampaui
sepertiga malam yang pertama.
Adapun yang dimaksud fajar shadiq
ialah cahaya yang tersebar di
sepanjang cakrawala timur, yang
merupakan pantulan cahaya matahari
yang datang dari jauh.
Selanjutnya, cahaya ini merantai langit
sedikit demi sedikit, sampai akhirnya
memenuhinya dengan terbitnya
matahari. Adapun yang menjadi dalil
atas waktu ‘Isya, baik mulainya,
berakhirnya, maupun waktu ikhtiarnya,
ialah keterangan yang terdapat dalam
hadits mengenai waktu, dan hadits
lainnya yang diriwayatkan oleh Muslim
(681) dan lainnya, dari Abu Qatadah
RA, bahwa Nabi SAW bersabda:
ﺍَﻣَّﺎ ﺍِﻧَّﻪُ ﻟَﻴْﺲَ ﻓِﻰ ﺍﻟﻨَّﻮْﻡِ
ﺗَﻔْﺮِﻳْﻂٌ، ﺍِﻧَّﻤَﺎﺍﻟﺘَّﻔْﺮِﻳﻂُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ
ﻟَﻢْ ﻳُﺼَﻠِّﺎ ﻟﺼَّﻼﺓَ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺠِﺊَ
ﻭَﻗْﺖُ ﺍﻟﺼَّﻼﺓِ ﺍﻻُﺧْﺮَﻯ
Adapun dia sesungguhnya tidak
melakukan kelalaian dalam tidurnya.
Kelalaian hanyalah dilakukan orang
yang tidak melakukan shalat sehingga
datang waktu shalat berikutnya. Hadits
ini menunjukkan bahwa waktu shalat itu
belumlah keluar kecuali dengan
masuknya waktu shalat berikutnya. Dan
dari pernyataan yang bersifat umum
ini, waktu shalat Shubuh dikecualikan.
Demikianlah waktu-waktu shalat yang
lima. Akan tetapi, seorang muslim
sepatutnya tidak mengakhirkan shalat
dengan sengaja sampai akhir waktu,
sekalipun beralasan bahwa waktu shalat
cukup luas. Karena hal itu boleh jadi
akan menyebabkan shalat itu dilakukan
di luar waktunya, bahkan barangkali
sikap meremehkan seperti ini
menyebabkan shalat itu ditinggalkan
sama sekali.
Tetapi yang disunnatkan ialah agar
shalat itu dilakukan dengan segera
pada awal waktu:
ﻭَﻗَﺪْ ﺳُﺌِﻞَ ﻟﻨَّﺒِﻰُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﷲُﻋَﻠَﻴْﻪِ
ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻋَﻦْ ﺍَﻓْﻀَﻞِ ﺍْﻻَﻋْﻤَﺎﻝِ؟
ﻓَﻘَﺎﻝَ׃ ﺍﻟﺼَّﻼﺓُ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﻗْﺘِﻬَﺎ ﺍَﻯْ
ﻋِﻨْﺪَ ﺍَﻭَّﻝِ ﻭَﻗْﺘِﻬَﺎ
Sesungguhnya Nabi SAW pernah ditanya
tentang amal apakah yang paling
utama? Maka jawab beliau: “Shalat
tepat pada waktunya,” maksudnya,
pada awal waktu. (H.R. al-Bukhari:
504, dan Muslim: 85).
Dan ketahuilah, bahwasanya
barangsiapa yang sempat melakukan
sebagian shalatnya selagi waktunya
masih ada, sedang sisanya dilakukan di
luar waktu, maka kalau yang dilakukan
dalam waktu itu lengkap satu rakaat,
berarti shalat itu tunai (adaa’), dan
kalau tidak, maka berarri qadha’.
Adapun dalilnya ialah hadits yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari (554) dan
Muslim (608), dari Abu Hurairah RA,
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ﻣَﻦْ ﺍَﺩْﺭَﻙَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢِ ﺭَﻛْﻌَﺔً
ﻗَﺒْﻞَ ﺍَﻥْ ﺗَﻄْﻠُﻊَ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ ﻓَﻘَﺪْ
ﺍَﺩْﺭَﻙَ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢَ، ﻭَ ﻣَﻦْ ﺍَﺩْﺭَﻙَ ﺭَﻛْﻌَﺔً
ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌَﺼْﺮِﻗَﺒْﻞَ ﺍَﻥْ ﺗَﻐْﺮُﺏَ
ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ ﻓَﻘَﺪْ ﺍَﺩْﺭَﻙَ ﺍﻟْﻌَﺼْﺮَ
Barangsiapa sempat melakukan satu
rakaat dari shalat Shubuh sebelum
terbitnya matahari, maka berarti ia
sempat melakukan shalat Shubuh
seluruhnya. Dan barangsiapa sempat
melakukan satu rakaat dari shalat
‘Ashar sebelum terbenamnya matahari,
maka berarti ia sempat melakukan
shalat ‘Ashar seluruhnya.
Dan juga sabda Nabi SAW:
ﻣَﻦْ ﺍَﺩْﺭَﻙَ ﺭَﻛْﻌَﺔً ﻣِﻦَ ﺍﻟﺼَّﻼﺓَ ﻓَﻘَﺪْ
ﺍَﺩْﺭَﻙَ ﺍﻟﺼَّﻼﺓَ
Barangsiapa sempat melakukan satu
rakaat dari shalat, maka berarti ia
sempat melakukan shalat itu
seluruhnya. (H.R. al-Bukhari: 555, dan
Muslim: 607).
WAKTU-WAKTU YANG MAKRUH UNTUK
SHALAT
Shalat, makruh tahrim hukumnya bila
dilakukan:
Pada waktu istiwa’, kecuali di
hari jum’at.
Sesudah shalat subuh sampai
matahari naik setinggi
tombak menurut penglihatan
mata.
Sesudah shalat ‘Ashar sampai
terbenamnya matahari.
Itu semua dalilnya ialah sebuah hadits
riwayat Muslim (831), dari ‘Uqbah bin
‘Amr RA, dia berkata:
ﺛَﻼَﺙُ ﺳَﺎﻋَﺔٍ ﻛﺎَﻥَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﷲِ
ﺻَﻠَّﻰ ﺍﷲُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﻨْﻬَﺎﻧَﺎ
ﺍَﻥْ ﻧُﺼَﻠِّﻰ ﻓِﻴْﻬِﻦَّ ٬ﻭَﺍَﻥْ ﻧَﻘْﺒِﺮَ
ﻣَﻮْﺗَﺎﻧَﺎ׃ ﺣِﻴْﻨَﺘَﻄْﻠُﻊُ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ
ﺑَﺎﺯِﻏَﺔً ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺮْﺗَﻔِﻊَ ٬ﻭَﺣِﻴْﻦَ
ﻳَﻘُﻮﻡُ ﻗَﺎﺋِﻤُﺎ ﻟْﻈَّﻬِﻴْﺮَﺓِ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻤِﻴْﻠَﺎ
ﻟﺸَّﻤْﺴُﻮَ ﺣِﻴْﻦَ ﺗَﻀَﻴَّﻔَﺎ ﻟﺸَّﻤْﺲُ
ﻟِْﻠﻐُﺮُﻭْﺑِﺤَﺘَّﻯﺘَﻐْﺮُﺏَ
Ada tiga saat yang kami dilarang
Rasulullah SAW melakukan shalat
padanya dan mengubur mayit-mayit
kami: ketika matahari nampak terbit
sehingga ia meninggi, ketika tengah
hari sehingga condongnya matahari,
dan ketika matahari hampir terbenam
sehingga ia terbenam.
Bazighah: terbit, dan yang dimaksud
ialah permulaan nampaknya bulatan
matahari.
Qa’imu ‘zh-Zhahirah: asalnya, bahwa
seekor unta menderum, lalu bangkit
karena terasa sangat panas, kemudian
kata-kata ini dijadikan kinayah untuk
menyatakan tentang panas yang amat
sangat. Tamilu: condong dari tengah
langit.
Tadhayyafa: condong dengan warna
kuning dan hampir terbenam. Akan
tetapi kemakruhan ini yang dimaksud
jika shalat itu tidak mempunyai sebab
yang mendahuluinya, atau sengaja
mengubur mayit pada waktu itu.
Adapun bila tidak sengaja mengubur
mayit pada waktu itu, tetapi secara
kebetulan saja, atau shalat itu
mempunyai sebab yang mendahuluinya,
seperti halnya shalat sunnah wudhu’,
Tahiyataul masjid dan mengqadha’
shalat yang terlewat, maka tidak
makruh lagi hukumnya. Dan
ketidakmakruhan ini ditunjukkan oleh
sebuah hadits riwayat al-Bukhari
(572), dan Muslim (683), dari Anas RA,
dari Nabi SAW:
ﻣَﻦْ ﻧَﺴِﻰَ ﺻَﻼَﺓً ﻓَﻠْﻴُﺼَﻞِّ ﺍِﺫَﺍ
ﺫَﻛَﺮَﻫَﺎﻻَﻛَﻔَّﺎﺭَﺓَ ﻟَﻬَﺎﺍِﻻَّّ ﺫَﻟِﻚَ
Barangsiapa lupa akan shalat, maka
hendaklah ia melakukannnya apabila
mengingatnya, tidak ada penebus bagi
shalat itu selain itu saja.
Dan dirikanlah shalat untuk mengingat
Aku. (Q.S. Thaha: 14)
Sabda Nabi: Idza dzakara”,
menunjukkan bahwa waktu shalat yang
disyari’atkan dan saat yang
diperintahkan untuk shalat, ialah ketika
ingat. Sedangkan orang kadang-
kadang baru ingat akan shalat pada
salah satu di antara waktu-waktu yang
terlarang. Dengan demikian, hadits di
atas menunjukkan bahwa saat
mengingat shalat adalah dikecualikan
dari larangan tersebut di atas. Begitu
pula ditunjukkan oileh hadits lain yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari (1176),
dan Muslim (834), dari Umar Salamah
RA:
ﺍَﻧَّﻪُ ﺻَﻠَّﻰ ﷲُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ
ﺻَﻠَّﻰ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﻌَﺼْﺮِ
٬ﻓَﺴَﺄَﻟْﺘُُﻪ ﻋَﻦْ ﺫَﻟِﻚَ ﻓَﻘَﺎﻝَ׃
ﻳَﺎﺑِﻨﺘَﺎَﺑِﻰْ ﺍُﻣَﻴَّﺔَ، ﺳَﺄَﻟْﺖِ ﻋَﻦِ
ﺍﻟﺮَّﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﻌَﺼْﺮِ ﻭَﺍِﻧَّﻪُ
ﺍَﺗَﺎﻧِﻰ ﻧَﺎﺱٌ ﻣِﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟْﻘَﻴْﺲِ
ﻓَﺸَﻐَﻠُﻮْﻧِﻰ ﻋَﻦِ ﺍﻟﺮَّﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﺍﻟﻠَّﺘَﻴْﻦِ
ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﻈُّﻬْﺮِﻓَﻬُﻤَﺎﻫَﺎﺗَﺎﻥِ
Bahwasanya Nabi SAW melakukan shalat
dan rakaat sesudah ‘Ashar, maka aku
tanyakan hal itu kepada beliau, yang
beliau jawab: “Hai anak perempuan Abu
Umayah, kamu menanyakan tentang
dua rakaat sesudah ‘Ashar.
Sesungguhnya telah datang kepadaku
beberapa orang dari kaum Abdul Qais.
Mereka telah menyibukkan aku
sehingga tidak sempat melakukan dua
rakaat sesudah Zhuhur. Maka inilah
kedua rakaat itu. Shalat-shalat lainnya
yang mempunyai sebab yang
mendahuluinya, juga boleh diqadha’,
karena dikiaskan kepada hadits ini. Ada
yang secara mutlak dikecualikan dari
larangan ini, yaitu shalat di Tanah
Haram (Mekah), berdasarkan sabda
Nabi SAW:
ﻳَﺎ ﺑَﻨِﻰ ﻋَﺒْﺪِ ﻣَﻨَﺎﻑٍ ﻻَﺗَﻤْﻨَﻌُﻮْﺍ
ﺍَﺣَﺪًﺍ ﻃَﺎﻑَ ﺑِﻬَﺬَﺍ ﺍَﻟْﺒَﻴْﺖِ ﻭَﺻَﻠَّﻰ
ﺍّﻳَّﺔَ ﺳَﺎﻋَﺔٍ ﺷَﺎﺀَ ﻣِﻦْ ﻟَﻴْﻞٍ ﺍَﻭْ
ﻧَﻬَﺎﺭٍ
Wahai anak-anak Abdu Manaf,
janganlah kamu mencegah seorang pun
yang berthawaf di Ka’bah ini, dan
melakukan shalat kapan saja dia
kehendaki, baik malam maupun siang.
(H.R. at-Tirmidzi: 868, dan Abu Daud:
1894).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar