Kamis, 05 Februari 2015

Mengendalikan Cinta dengan Jihad

Pernahkah Anda merasa bahwa apa yang sedang
Anda lakukan itu salah tapi masih juga dilakukan?
Pendeknya, sudah tahu keliru tapi terus saja maju.
Itulah yang dialami seorang teman saya. Orangnya
cerdas dan kini dia mendapat beasiswa untuk
belajar di sebuah perguruan tinggi pendidikan
agama terkenal di luar negeri. Kepiawaiannya
sangat diakui rekan dan para dosennya. Bahkan
karya tulisnya mengenai agama menghiasi majalah
dan surat kabar. Namun dia mengeluh kepada saya,
bahwa saat ini dia tak bisa konsentrasi belajar
karena memikirkan hubungan cinta jarak jauhnya.
Ya, dia tengah menjalin cinta dengan seseorang
yang sedang studi juga di negara lain sejak
beberapa bulan ini. Benang-benang asmara terajut
lewat email, chatting, dan SMS, nyaris setiap hari.
Ada saja hal-hal yang saling dicurhatkan dan
dilaporkan. Masya Allah!
Namun, konflik batin terus menggelayuti hati dan
pikiran teman saya itu. Betapa tidak, dia tahu
bahwa semua itu mengganggu konsentrasi
belajarnya, apalagi saat ini dia sedang
mempersiapkan ujian akhirnya. Terbayang jika
gagal, maka orang tua yang siang malam
mendoakannya pasti akan kecewa. Lebih-lebih lagi,
dia juga paham bahwa apa yang mereka lakukan
selama ini adalah dosa yang bisa dikategorikan
sebagai zina hati. Dia juga mengerti bahwa itu
semua bisa terjadi karena godaan syaithan
la’natullah, yang makin menggila kala imannya
sedang lemah. Namun apa daya, dia merasa tidak
sanggup melawan arus deras godaan cinta itu. Dia
merasa terus terhanyut oleh buaian syaithan yang
kali ini seakan berwajah manis. Bayangan sang
kekasih sungguh sulit untuk dihapuskan. Pikirannya
yang cerdas dan pengetahuan yang luas mengenai
syariat Islam seakan berubah menjadi tumpul kala
digunakan untuk mengatasi konflik batin ini.
****
Alhamdulillah, suatu saat dia mendatangi majelis
taklim dan mendengar lantunan firman Allah SWT:
“Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagimu,
maka jadikanlah ia sebagai musuh, karena
sesungguhnya syaithan itu hanya mengajak
golongannya supaya mereka menjadi penghuni
neraka yang menyala-nyala.” (QS Fathir: 6). Suara
hafidz yang tartil itu sungguh merasuk dalam
qalbunya dan menjadi media penghantar Nur
Hidayah-Nya.
“Jihad…!!!” teriaknya tanpa sadar.
Benar sekali, jihadun nafs (jihad melawan hawa
nafsu diri-sendiri) dan jihadusy syaithan (jihad
melawan syaithan). Dua istilah yang intinya satu
yakni jihad ini menggetarkan hati dan pikirannya.
Teringat tausyiah salah seorang gurunya: “Kata Al-
Jihad di-kasrah huruf jim secara bahasa bermakna
kesulitan, kesukaran, kepayahan. Sedangkan secara
syar’i bermakna mencurahkan segala kemampuan
dalam memerangi musuh, khususnya orang-orang
kafir.”
Kuncinya adalah “Mengerahkan segala kemampuan,
baik materi atau bahkan nyawa kita, untuk
membela agama Allah dan melawan musuh Allah dan
Rasul-Nya”. Jadi, jika usaha kita biasa-biasa saja
atau sambil lalu belumlah dikatakan sebagai jihad.
Menurut Ibnul Qayyim ra., jihadun nafs adalah jihad
seorang hamba untuk menundukkan dirinya dalam
ketaatan kepada Allah SWT, dengan melakukan apa
yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang
dilarang-Nya, serta memerangi diri sendiri di jalan
Allah. Sedangkan jihadusy syaithan ada dua
tingkatan, pertama berjihad untuk menghalau
segala sesuatu yang dilontarkan syaithan pada
manusia berupa syubhat dan keraguan yang dapat
membahayakan perkara iman. Orang yang mampu
mengerjakannya akan membuahkan keyakinan.
Kedua, berjihad untuk menghalau segala apa yang
dilemparkan syaithan berupa kehendak buruk dan
syahwat. Orang yang mampu melakukannya akan
membuahkan kesabaran. Sabar akan menolak
syahwat dan kehendak buruk, keyakinan akan
menolak keraguan dan syubhat.
Dua jenis jihad inilah yang perlu kita lakukan
terlebih dahulu sebelum jihadul kuffar (jihad
melawan orang kafir yang menyerang aqidah Islam)
dan jihadul munafiqin (jihad melawan orang
munafiq yang yang menyerang aqidah Islam).
****
“Jadi… tunggu apa lagi”, pikir teman saya itu,
“Musuh sudah jelas walaupun tidak tampak, yaitu
syaithan. Jalan sudah ada, yaitu jihad. Saya akan
mulai dengan berniat lilLaahi Ta’ala, sebab amal
perbuatan akan sia-sia di mata Allah jika tidak
dilandasi dengan niat yang benar, Innamal a’malu
bin niyyaat”. Beberapa program jihadun nafs dan
jihadusy syaithan dia canangkan dan dia jalankan
dengan penuh kesungguhan dan keyakinan.
Genderang perang melawan hawa nafsu dan
syaithan ditabuhnya dengan menggelegar. Hatinya
ikhlas, jika memang sang kekasihnya itu adalah
jodohnya, Insya Allah akan dipertemukan dengannya
dalam pernikahan yang syar’i.
Untuk mewujudkannya, tidak perlu komunikasi
hotline 24 jam sehari dengan sang kekasih seperti
yang sudah-sudah. Yang penting, amanah belajar
harus dituntaskan dulu. Namun dalam masa belajar
ini, adalah rugi di mata Allah jika hanya
mempelajari pengetahuan duniawi tanpa
mendasarinya dengan pengetahuan ukhrawi. Oleh
sebab itu, jika suatu saat dia akan mengajak
kekasihnya untuk menikah maka diniatkan sebagai
ajakan untuk beribadah.
Jika godaan nafsu datang, dia hadapi dengan
memperbanyak puasa, istighfar, dan zikir. Untuk
meneguhkan hati dan fisiknya, dia perbanyak
tilawatil Qur’an dan Qiyamul Lail. Jika ada perkara
meragukan, apakah tergolong kebaikan atau justru
keburukan, dia ingat sabda Rasulullah SAW:
“Kebaikan itu adalah akhlaq yang baik. Dan dosa
adalah apa-apa yang meragukan jiwamu dan
engkau tidak suka dilihat orang lain dalam
melakukan hal itu.” (HR Muslim).
Teman saya itu senyum-senyum kecut jika ingat
apa saja yang pernah dia lakukan selama ini.
Kebodohan atau kekurang pengetahuannya memang
berbuah kejahilan; menjahili apa-apa yang menjadi
ketentuan Allah SWT, yaitu: apa yang disuruh-Nya
dilalaikan, apa yang dilarang-Nya justru dijalankan
sebaik-baiknya. Astaghfirullah…
Kini teman saya sangat bahagia karena merasa
tidak dibiarkan oleh Allah SWT bergelimang dalam
kesesatan dan maksiat. Ia merasa sangat bersyukur
karena telah mendapat taufiq dan hidayah-Nya
dalam mengendalikan cintanya dengan jihad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar