BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu hal yang membedakan
antara penanggalan hijriah dengan kalender
lainnya adalah peraturan yang digunakan.
Peraturan penanggalan hijriah disandarkan
pada Al Qur’an dan Hadits yang sekaligus
sebagai sumber hukum dalam Agama Islam.
Beberapa aturan dasar penanggalan hijriah
adalah :
1. Satu tahun terdiri dari 12 bulan.
Hal ini didasarkan firman Allah (QS.
Attaubah : 36) yang artinya,
“ Sesungguhnya bilangan bulan di sisi
Allah ialah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan haram ”.
2. Awal bulan ditandai dengan hilal.
Hal ini didasarkan pada firman Allah
(QS. Al-Baqarah : 189) yang artinya,
“ Mereka bertanya kepadamu tentang
bulan sabit. Katakanlah: Bulan sabit
itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadat) haji”.
3. Satu bulan hijriah itu terdiri dari
29 hari atau 30 hari. Hal ini
didasarkan pada beberapa Hadits
Nabi yang berkaitan dengan puasa
diantaranya, “ Sebulan itu adalah
sekian dan sekian, kemudian beliau
melengkungkan ibu jarinya pada
perkataan yang ketiga, maka
berpuasalah kamu karena melihat
hilal, dan berbukalah (mengakhiri
puasa) kamu karena melihat hilal. Jika
hilal tertutup oleh awan, maka
pastikanlah bilangan hari pada bulan
itu lamanya menjadi 30 hari” (HR.
Muslim).
Berdasarkan Al Quran dan Hadits
Nabi tersebut, para ulama sepakat bahwa
penanggalan hijriah merupakan sistem
penanggalan yang didasarkan pada
pergerakan bulan dalam mengelilingi bumi
dan awal bulan ditandai dengan hilal.
Karena didasarkan pada astronomi penomena
maka penanggalan hijriah tidak mengenal
istilah tahun kabisat dan satu tahunnya
terdiri dari 12 bulan yang tidak bergantung
pada posisi matahari.
Dalam praktiknya, penanggalan
hijriah hingga kini belum mempunyai
peraturan baku yang dipergunakan secara
internasional, sehingga dalam penetapan
awal maupun akhir bulan terutama dalam
penetapan awal dan akhir Ramadhan masih
sering terjadi perbedaan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh Imam
Mazhab terhadap penentuan awal
puasa dengan menggunakan
metode ru’yat hilal, istikmal dan
hisab ?
2. Bagaimana pengaruh Imam
Mazhab terhadap waktu niat
puasa ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pendapat
Imam Mazhab mengenai
penentuan awal puasa dengan
menggunakan metode ru’yat
hilal, istikmal dan hisab.
2. Untuk mengetahui pendapat
Imam Mazhab mengenai waktu
niat puasa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Cara Penetapan Awal Ramadhan
Hampir setiap tahun kaum muslimin
disibukkan dengan masalah “kapan memulai
puasa dan kapan berhari raya ?” Para
pemimpin dan pengurus ormas- ormas dan
lembaga- lembaga Islam disibukkan berijtihad
untuk memastikan kapan puasa tahun itu
dimulai dan berakhir, sementara masyarakat
dibingungkan dengan berbagai keputusan
yang dibuat oleh ormas- ormas dan lembaga-
lembaga Islam yang terkadang keputusannya
berbeda-beda. Bahkan akhir-akhir ini
masyarakat sering dikacaukan oleh seruan
untuk memulai puasa atau berhari raya
dengan berpedoman pada awal puasa dan
idul fitri di Saudi Arabia. Tidak jarang
karena perbedaan-perbedaan tersebut, timbul
kesalahpahaman dan gesekan- gesekan
diantara masyarakat. Masing-masing
menganggap benar apa yang diputuskan oleh
ormas atau lembaga yang diikutinya dan
menganggap salah terhadap yang lain, tanpa
mereka tahu apa sebetulnya yang dijadikan
patokan sebagai pentuan awal dan akhir
puasa oleh masing-masing ormas dan
lembaga-lembaga Islam tersebut.
Pada masa Rasulullah, para sahabat
dan tabi’in tidak pernah terjadi perbedaan di
dalam penetapan awal Ramadhan, awal
Syawal dan awal Dzulhijjah, semua
didasarkan atas rukyatul hilal bil fi’li
(melihat hilal dengan mata kepala) atau
istikmal (menggenapkan bulan Sya’ban dan
Ramadhan menjadi 30 hari) apabila rukyat
tidak berhasil disebabkan karena cuaca
mendung atau faktor lainnya. Namun setelah
ilmu pengetahuan mengalami kemajuan,
pengertian tentang rukyatul hilal mengalami
pergeseran. Ada yang memaknainya tetap
seperti semula, yaitu rukyat bil fi’li dan ada
yang memaknainya dengan rukyat bil’ilmi,
yakni melihat hilal dengan ilmu pengetahuan
atau hisab.
Dari perbedaan makna rukyatul hilal
itulah maka penetapan awal Ramadhan dan
awal Syawal sekarang ini paling tidak ada
tiga macam cara, diantaranya adalah :
1. Metode ru’yat
Metode ru’yat (pengamatan)
dilakukan dengan melihat hilal di
saat menjelang maghrib,
menggunakan mata telanjang atau
dengan alat bantu. Metode ini adalah
metode yang paling sahih sesuai
dengan Al-Quran dan as-sunnah.
Barangsiapa yang melihat bulan itu
(hilal) maka hendaknya ia berpuasa
(Al-Baqarah 185).
ﺻﻮﻣﻮﺍ ﻟﺮﺅﻳﺘﻪ ﻭﺍﻓﻄﺮﻭﺍ ﻟﺮﺅﻳﺘﻪ ﻓﺎﻥ ﻏﺒﻲ ﻋﻠﻴﻜﻢ
ﻓﺎﻛﻤﻠﻮﺍ ﻋﺪﺕ ﺷﻌﺒﺎﻥ ﺛﻼﺛﻴﻦ
Berpuasalah kalian apabila melihat
hilal (Ramadhan) dan berbukalah
kalian apabila melihat hilal (Syawwal).
Lalu apabila mendung menghalangi
kalian, maka sempurnakanlah
hitungan sya’ban sampai tiga puluh
hari (HR Bukhari & Muslim).
Bahwa seorang Arab Badui datang
kepada Rasulullah saw seraya
berkata:”'Saya telah melihat hilal
(Ramadhan)”, Rasulullah saw lalu
bertanya: ”Apakah kamu bersaksi
bahwa tidak ada Ilah kecuali Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah”,
Orang itu menjawab: ”Ya”, Kemudian
Nabi saw menyerukan: ”Berpuasalah
kalian” (HR Abu Dawud, An-Nasa`i,
At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Ibnu
Abbas).
Menurut Imam Syafi’i cukup
satu orang laki-laki yang melihat
hilal, sementara menurut Imam
Hanafi, Maliki dan Hambali minimal
disaksikan oleh dua orang laki-laki.
[1] Dalam hal ini tidak berlaku
prinsip mayoritas (demokrasi),
meskipun telah di sebar 25 titik
pengamatan ru’yat tetapi jika satu
atau dua orang melihat hilal maka
seharusnya ditetapkan hilal sudah
terlihat.
a. Ru’yat Lokal
Ru’yat lokal adalah hasil
ru’yat yang hanya berlaku
untuk daerah matla’ (daerah
yang terlihat hilal), metode
ru’yat lokal (matla’)
berdasarkan Hadits Kuraib.
Kuraib ra meriwayatkan, ”Aku
pergi ke Syam. Pada saat aku
berada disana, muncullah hilal
Ramadhan dan aku saksikan
sendiri hilal itu pada malam
Jum’at. Kemudian pada akhir
bulan, aku datang kembali ke
Madinah dan ditanyai oleh Ibnu
Abbas ra, kemudian teringat
olehnya hilal”, Katanya: ”Bilakah
kalian melihat itu?”, ”Kami
melihatnya pada malam Jum’at”,
ujarku. ”Apakah engkau sendiri
melihatnya?”, tanya Ibnu Abbas
pula. ”Benar, jawabku. juga di
lihat oleh orang banyak. Hingga
mereka berpuasa, termasuk
diantaranya Mu’awiyah”, ”Tetapi
kami melihatnya malam Sabtu,
kata Ibnu Abbas. Hingga kami
akan terus berpuasa hingga
cukup 30 hari entah kalau
kelihatan sebelum itu”,
”Tidakkah cukup menurut engkau
penglihatan dan berpuasanya
Mu’awiyah?”, tanya aku. ”Tidak,
ujarnya, Begitulah perintah
Rasulullah saw kepada
kami” (HR Ahmad, Muslim dan
Tirmidzi). [2]
Hadits Kuraib merupakan
ijtihad Ibnu Abbas ra dan
bukanlah hadits dari Rasulullah
saw, Ibnu Abbas ra berijtihad
berdasarkan sabda Rasulullah
saw: ”Berpuasalah kalian
karena melihat hilal dan
berbukalah karena melihatnya”
Ijtihad Ibnu Abbas ra ini
menyelisihi hadits yang
diriwayatkan oleh jama’ah
sahabat Anshar:
Mereka berkata: ”Hilal Syawal
tertutup mendung lalu kami
berpuasa pada pagi harinya. Lalu
pada akhir hari ada kafilah
datang lalu mereka bersaksi pada
Rasulullah saw bahwa kemarin
mereka telah melihat hilal lalu
beliau menyuruh manusia
berbuka pada hari itu juga dan
agar mereka keluar untuk shalat
ied pada pagi harinya” (HR
Mutafaq’alaihi, kecuali Tirmidzi)
Ketika memperoleh kabar
dari kafilah yang datang dari
luar kota Madinah bahwa hilal
telah terlihat di daerah lain,
Rasulullah saw langsung
memerintahkan para sahabat
untuk berbuka pada sore itu
juga, kemudian shalat ied besok
paginya. Hadits Kuraib yang
merupakan ijtihad Ibnu Abbas
ra terbantahkan dengan Hadits
dari jama’ah sahabat Anshar,
sehingga ru’yat lokal bukanlah
pendapat yang kuat. [3]
Ru’yat lokal juga
berdasarkan pendapat Imam
Syafi’i dimana jika ada
kesamaan matla’ (daerah yang
terlihat hilal) maka wajib
berpuasa untuk daerah itu saja,
sementara umat yang berada di
luar matla’ berpuasa sesuai
dengan hasil ru’yat-nya sendiri.
Radius matla’ ditetapkan oleh
Imam Syafi’i sejauh 24 farsakh
atau kira-kira 133 km (1
farsakh= 5,541 km). Hal ini
karena keterbatasan teknologi
informasi saat itu dalam
menyampaikan informasi ke
daerah sekitar matla’. [4]
Sementara dengan teknologi
informasi saat ini dengan cepat
bisa disebarkan hasil ru’yat ke
seluruh Negeri kaum muslimin,
sehingga pendapat Imam Syafi’i
tidak kuat lagi untuk kondisi
saat ini, sesuai dengan ucapan
terkenal Imam Syafi’i:
“Bila kalian menemukan dalam
kitabku sesuatu yang berlainan
dengan Hadits Rasulullah saw,
peganglah Hadits Rasulullah
SAW. itu dan tinggalkanlah
pendapatku itu”
b. Ru’yat Global
Ru’yat global adalah ru’yat
yang berlaku untuk seluruh
dunia. Jika suatu Negeri kaum
muslimin telah melihat hilal
maka segera informasi ini
disebarkan ke seluruh Negeri-
Negeri kaum muslim yang lain,
maka diseluruh dunia kaum
muslimin berpuasa atau
berlebaran di saat yang sama.
Tidak ada lagi sekat-sekat batas
negara dan suku bangsa
(Nasionalisme) karena begitulah
aqidah Islam.
Hilal bisa saja tidak terlihat
pada Negeri yang waktunya
lebih awal karena sudut derajat
masih rendah atau cuaca
mendung. Sementara ketika
bulan melewati Negeri kaum
muslimin berikutnya maka hilal
memungkinkan bisa terlihat,
sehingga kewajiban semua
Negeri kaum muslimin untuk
mengikuti ketetapan Negeri
yang telah melihat hilal.
Jumhur Imam Mazhab
diantaranya Imam Hanafi,
Maliki dan Hanbali menganut
ru’yat global, hanya Imam
Syafi’i yang menganut ru’yat
lokal (matla’). Pendapat ru’yat
lokal Imam Syafi’i tidak sesuai
lagi dengan perkembangan
teknologi informasi saat ini.
Jika kita teliti lafadz Hadits
tentang melihat hilal maka kita
temukan makna yang jelas
tentang kebenaran ru’yat
global. Lafadz Haditsnya
berbunyi demikian:
ﺻﻮﻣﻮﺍ ﻟﺮﺅﻳﺘﻪ ﻭﺍﻓﻄﺮﻭﺍ ﻟﺮﺅﻳﺘﻪ ﻓﺎﻥ ﻏﺒﻲ ﻋﻠﻴﻜﻢ
ﻓﺎﻛﻤﻠﻮﺍ ﻋﺪﺕ ﺷﻌﺒﺎﻥ ﺛﻼﺛﻴﻦ
Dhamir jama’ah pada dua kata
ﺻﻮﻣﻮﺍ (berpuasalah kalian) dan
ﺍﻓﻄﺮﻭﺍ (berbukalah kalian)
terdapat huruf (Wawu) yang
menunjukkan bentuk jamak
yang ditujukan kepada seluruh
kaum muslimin. Begitu juga
lafadz ﺭﺅﻳﺘﻪ (melihat bulan)
terdapat huruf (Ha) yang
merupakan isim jinsi yang
diidhafatkan (disandarkan) pada
dhamir (kata ganti), artinya jika
salah satu dari kalian melihat
hilal maka berpuasa atau
berbukalah.
Dengan demikian hadits di atas
bermakna:
Berpuasalah kalian (semua kaum
muslim) apabila (salah satu dari
kalian) melihat hilal (Ramadhan)
dan berbukalah kalian (semua
kaum muslim) apabila (salah
satu dari kalian) melihat hilal
(Syawwal). Lalu apabila
mendung menghalangi kalian,
maka sempurnakanlah hitungan
sya’ban sampai tiga puluh hari
(HR Bukhari & Muslim).
Jika pendapat Imam Syafi’i
dijalankan secara konsisten maka
wilayah Indonesia terkotak-kotak
menjadi banyak matla’, sehingga
memungkinkan berbeda- beda waktu
berpuasa atau berlebaran untuk
masing- masing matla’. Jika ru’yat
dilakukan di Jakarta maka ketetapan
hasil ru’yat hanya berlaku hingga
radius 24 farsakh (133 km), artinya
satu kesatuan matla’ hanya sampai
daerah Anyer sedangkan Lampung,
Palembang, Jateng, Jatim dan daerah
lain harus melakukan ru’yat sendiri-
sendiri.
Tercerai- berainya umat karena
perbedaan matla’, maka di ambil
jalan kompromi dengan konsep
”Wilayatul Hukmi”, dimana hasil
ru’yat berlaku untuk satu kesatuan
hukum Negara Indonesia. Dimana
konsep wilayatul hukmi ini tidak
mengikuti pendapat 3 Imam Mazhab
(Imam Hanafi, Maliki dan Hanbali)
yang menganut ru’yat global, juga
tidak mengikuti pendapat Imam
Syafi’i yang menganut ru’yat lokal.
2. Metode Menyempurnakan
Bilangan Bulan (Istikmal)
Metode kedua untuk
mengetahui masuknya bulan
Ramadhan ialah dengan
menyempumakan bilangan bulan
Sya‘ban menjadi tiga puluh hari, baik
langit dalam keadaan cerah maupun
berawan. Apabila mereka melihat
bulan pada malam (magrib) tanggal
tiga puluh bulan Sya'ban kemudian
tidak ada seorang pun yang
melihatnya, maka hendaklah mereka
menyempurnakan hitungan bulan
Sya'ban menjadi tiga puluh hari.
Sebagaimana Hadits yang
diriwayatkan Abu Hurairah bahwa
Rasulullah SAW. Bersabda :
ﺻﻮﻣﻮﺍ ﻟﺮﺅﻳﺘﻪ ﻭﺍﻓﻄﺮﻭﺍ ﻟﺮﺅﻳﺘﻪ ﻓﺎﻥ ﻏﺒﻲ ﻋﻠﻴﻜﻢ
ﻓﺎﻛﻤﻠﻮﺍ ﻋﺪﺕ ﺷﻌﺒﺎﻥ ﺛﻼﺛﻴﻦ
Berpuasalah kalian apabila melihat
hilal (Ramadhan) dan berbukalah
kalian apabila melihat hilal (Syawwal).
Lalu apabila mendung menghalangi
kalian, maka sempurnakanlah
hitungan sya’ban sampai tiga puluh
hari (HR Bukhari & Muslim).
Diriwayatkan pula dari Umar bahwa
Rasulullah SAW.
ﻻ ﺗﺼﻮﻣﻮﺍ ﺣﺘﻲ ﺗﺮﻭﺍﺍﻟﻬﻼﻝ ﻭﻻ ﺗﻔﻄﺮﻭﺍ ﺣﺘﻲ
ﺗﺮﻭﻩ ﻓﺎﻥ ﻏﻢ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻓﺎﻗﺪﺭﻭﻟﻪ
Janganlah kamu berpuasa sehingga
kamu melihat tanggal (satu ramadhan)
dan janganlah kamu berbuka
(berlebaran) sehingga kamu melihat
tanggal (satu syawal). Dan jika
penglihatanmu tertutup oleh awan,
maka kira- kirakanlah bulan itu.
(Mutafaq ‘alaih)
Imam Abu Hanifah, Imam Syafi'i,
dan jumhur (mayoritas) golongan salaf
dan khalaf berpendapat, makna dari
ﻓﺎﻗﺪﺭﻭﻟﻪ ialah perkirakanlah untuk
menetapkan bulan itu dengan
menyempurnakan bilangan Sya‘ban tiga
puluh hari.
Oleh karena itu, seharusnya
bulan Sya'ban sudah diketahui
ketetapannya sejak awal, sehingga
pada waktu bulan tidak kelihatan,
maka malam ketiga puluh saat
dicarinya hilal (tanggal) dan
disempurnakannya bilangan Sya'ban
menjadi tiga puluh hari dapat
diketahui. Maka merupakan suatu
kekurangan apabila penetapan
masuknya bulan itu hanya dilakukan
untuk tiga bulan saja, yaitu bulan
Ramadhan untuk menerapkan
masuknya puasa, bulan Syawal untuk
menetapkan mulai keluarnya dari
kewaiiban puasa. dan bulan
Dzulhijjah unluk menelapkan hari
Arafah dan sesudahnya. Dengan
demikian sudah seharusnya umat
dan pemerintah yang bersangkutan
bertindak secara cermat menerapkan
semua bulan, sebab hitungan hulan
yang satu didasarkan pada bulan
yang lain. [5]
3. Metode Hisab
Sementara golongan yang
menggunakan hisab berpendapat
bahwa hisablah yang harus
digunakan dalam menetapkan awal
dan akhir ramadhan. Masing –
masing berpijak pada dalil-dalil syar’i
berdasarkan atas interpretasi mereka.
Dia-lah yang menjadikan matahari
bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan
itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu). Allah
tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak[669]. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-
Nya) kepada orang-orang yang
mengetahu. (Q.S. Yunus : 5)
[669] Maksudnya: Allah menjadikan semua
yang disebutkan itu bukanlah dengan
percuma, melainkan dengan penuh
hikmah.
Matahari beredar menurut perhitungan.
(QS. ar-Rahman: 5)
Ayat di atas menjelaskan kepada
kita bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan
manjilah-manjilah (tempat-tempat) bagi
perjalanan bulan supaya kita mengetahui
waktu (bulan) dan tahun sedangkan
matahari agar kita mengetahui waktu
(hari) dan jam. Secara explisit dua ayat
di atas juga mengandung pelajaran
disyariatkannya mempelajari ilmu falak
(astronomi) atau ilmu hisab untuk
mengetahui waktu-waktu shalat, puasa,
haji dan lainnya yang bermanfa’at bagi
kaum Muslimin. [6]
Di dalam beberapa riwayat yang
sahih, diantaranya dari Nafi' dari Ibnu
Umar yang merupakan untaian emas dan
isnad paling sahih yang dlriwayatkan oleh
Bukhari:
ﺍﺫﺍ
ﻏﻢ
ﻋﻠﻴﻜﻢ
ﻓﺎ
ﻗﺪﺭﻭﺍ
ﻟﻪ
“Jika penglihatanmu tertutup awan, maka
kira- kirakanlah bulan itu.”
Imam Nawawi berkata dalam al-
Majmu', Ahmad bin Hambal dan sebagian
kecil ulama mengatakan, Makna (faqduruu
lahu) ialah persempitlah bulan itu dan
perkirakanlah ia telah berada di bawah
awan. Makna ini diambil dari kata qadara
yang berarti dhayyaqa (mempersempit).
Menurut Mutharrif bin Abdullah
tokoh ulama tabi'in dan Abul Abbas bin
Suraij tokoh ulama Syafi'iyah serta ulama
yang lainnya berkata, maknanya ialah
kira-kirakanlah bulan itu menurut
perhitungan manzilah (letaknya). Adapun
Ibnu Arabi menukil riwayat dari Ibnu
Suraij bahwa sabda Rasulullah SAW.
faqduru lahu (Kira-kirakanlah bulan itu)
ditujukan kepada orang yang diberi
keistimewaan oleh Allah dengan llmu
(hisab) ini. Sedangkan sabda Beliau
akmiluu al-'iddata (sempurnakanlah
hitungan bulan Sya'ban) ditujukan kepada
masyarakat umum.
Imam Nawawi berkata dalam al-
Majmu', orang yang mengatakan dengan
memperhitungkan manzilah, maka
perkataannya itu tertolak. Mengingat
sabda Rasulullah saw.
ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :
ﺇﻧّﺎ ﺃﻣﺔ ﺃﻣﻴﺔ ﻻ ﻧﻜﺘﺐ ﻭﻻ ﻧﺤﺴﺐ، ﺍﻟﺸﻬﺮ
ﻫﻜﺬﺍ ﻭﻫﻜﺬﺍ ﻳﻌﻨﻰ ﻣﺮﺓ ﺗﺴﻌﺔ ﻭﻋﺸﺮﻭﻥ
ﻭﻣﺮﺓ ﺛﻼﺛﻮﻥ ( ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ (
Rasulallah Saw bersabda Kita adalah umat
buta huruf, tidak pandai menulis dan
tidak pandai berhitung, sebulan itu adalah
sekian dan sekian maksudnya kadang-
kadang 29 hari dan kadang-kadang 30
hari) (HR. Al Bukhari)
Hadits yang digunakan sebagai
hujjah oleh Imam Nawawi rahimahullah
tidaklah tepat, karena hadits ini hanya
membicarakan kondisi umat Islam pada
zaman diutusnya Nabi Muhammad SAW.
kepada mereka. Bahkan kebutahurufan
itu bukan merupakan keharusan atau
sesuatu yang dituntut. Malah Nabi SAW.
sendiri telah berusaha membebaskan umat
ini dari buta huruf dengan mengajarkan
tulis- menulis kepada mereka yang
dimulai sejak usainya perang Badar.
Namun saat ini ilmu pengetahuan
dan teknologi telah berkembang dan
maju, untuk mengetahui waktu-waktu dan
fenomena luar angkasa baik yang telah
terjadi maupun yang akan terjadi dapat
diperkirakan secara tepat dan mudah,
sehingga dengan didukung peralatan yang
canggih, hisablah yang paling akurat
untuk menentukan awal dan akhir
Ramadhan. [7]
B. Waktu Niat Puasa
Secara etimologi, niat sama dengan
tujuan (pencapaian). Sedangkan secara
terminologi, niat adalah tujuan (untuk
meraih) dengan jalan melaksanakannya.
Orang yang ingin meraih sesuatu tanpa
berbuat sama saja dengan bohong. Niat
disyariatkan untuk membedakan antara
kebiasaan dengan ibadah, atau untuk
memisahkan aturan ibadah yang satu dengan
yang lainnya. Niat dalam pandangan Al-
Ghazali adalah “pancaran dan kecenderungan
diri terhadap sesuatu yang tampak padanya
sebagai tujuan yang ingin diraih, baik cepat
maupun lambat. [8]
Kedudukan niat dalam puasa sangat
utama. Tanpa niat puasa seseorang tidak sah.
Sebab Rasulullah SAW menyatakan bahwa
setiap perbuatan tergantung pada niatnya.
Kalau seseorang tidak berniat akan puasa,
maka sama saja ia tidak puasa meskipun
dirinya telah menahan makan, minum dan
semua yang mebatalkannya. Sabda Nabi
SAW,
“Barangsiapa tidak berniat puasa sebelum
terbit fajar, maka tidak ada puasa
baginya.” [HR Abu Dawud, al- Bahaiki, dan
riwayat lainnya]
Niat puasa yang harus dilakukan
sebelum masuk fajar adalah puasa wajib
seperti puasa Ramadhan, qadha Ramadhan,
nazar, kafarat dan puasa fidyah haji.
Sedangkan untuk puasa sunat, niat boleh
dilakukan setelah fajar terbit dengan syarat
sebelum matahari tergelincir dan belum
melakukan sesuatu yang membetalkan puasa.
Sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW
yang diceritakan oleh Aisyah,
“pada suatu hari Rasulullah SAW bertanya
kepadaku, ‘wahai Aisyah, adakah sesuatu
yang dapat ku makan ?’ aku menjawab, ‘tidak
ada, ya Rasulullah.’ Kemudian beliau SAW
bersabda, ‘kalau begitu aku akan berpuasa.’
Kemudian beliau mendatangi kami pada hari
lain, kami berkata, ‘kami telah diberi
makanan yang terbuat dari kurma dan
tepung.’ Beliau SAW bersabda, ‘perlihatkan
kepadaku, sungguh aku telah memasuki pagi
dalam keadaan berpuasa.’ Beliau pun lalu
makan.” [HR Muslim dan Nasa’i]
Dari hadits di atas dapat
disimpulakan bahwa untuk puasa sunat,jika
sebelum fajar belum berniat boleh
meneruskan puasanya. Juga seseorang boleh
tidak menyempurnakan puasa sunatnya,
bahkan boleh memutuskannya dan berbuka
seperti yang dilakukan Rasulullah SAW. [9]
Dalam persoalan niat puasa, para
imam madzhab berbeda pendapat mengenai
batasan waktu pada niat. Untuk lebih
detailnya, marilah kita ikuti berbagai
pendapat berikut ini.
Mazhab Hanafiyah : Lebih baik bila
niat puasa (semua jenis puasa) dilakukan
bersamaan dengan terbitnya fajar, karena
saat terbit fajar merupakan awal ibadah. Jika
dilaksanakan setelah terbitnya fajar, untuk
semua jenis puasa wajib yang sifatnya
menjadi tanggungan atau hutang (seperti
puasa qadha, kafarat, dan puasa yang
lainnya) maka tidak sah puasanya. Karena
menurut mazhab ini, puasa-puasa jenis ini
niatnya harus dilakukan pada malam hari.
Tapi lain halnya dengan puasa wajib yang
hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu
(seperti puasa Ramadhan, nadzar, dan puasa-
puasa sunnah, maka boleh saja niatnya
dilakukan setelah fajar sampai sebelum
tergelincirnya matahari (zuhur). Argumen
mereka yaitu mengambil hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,
bahwa Nabi SAW ketika puasa ‘Asyura
diwajibkan memerintahkan seorang dari
Aslam agar berbicara di tengah- tengah
khalayak pada siang hari, “ketahuilah, barang
siapa sudah makan, maka tahanlah dan yang
belum makan, maka berpuasalah.” [10]
Mazhab Malikiyah : Niat dianggap sah,
untuk semua jenis puasa, bila dilakukan
pada malam hari atau bersamaan dengan
terbitnya fajar. Apabila seseorang berniat
sebelum terbenamnya matahari pada hari
sebelumnya atau berniat sebelum
tergelincirnya matahari pada hari ia
berpuasa maka puasanya tidak sah walaupun
puasa sunnah. Adapun dalam puasa
Ramadhan, Imam Malik berpendapat bahwa
niat puasa pada malam pertama bulan
Ramadhan sudah cukup untuk puasa sebulan
penuh, tanpa perlu memperbaharui niat
setiap malamnya, dengan alasan bahwa
puasa Ramadhan itu merupakan satu paket
amalan dan ibadah. [11]
Mazhab Syafi’iyah : Untuk semua jenis
puasa wajib (baik yang dilakukan pada
waktu-waktu tertentu seperti puasa
Ramadlan, maupun puasa yang sifatnya
menjadi tanggungan seperti qadla’, nazar,
kafarat) niat harus dilakukan pada malam
hari. Adapun puasa sunnah, niat bisa
dilakukan sejak malam hari sampai sebelum
tergelincirnya matahari.
Mazhab Hambaliyah : Tidak beda dari
Syafi’iyah, mazhab ini mengharuskan niat
dilakukan pada malam hari, untuk semupa
jenis puasa wajib. Adapun puasa sunnah,
berbeda dari Syafi’iyah, niat bisa dilakukan
walaupun telah lewat waktu Dhuhur (dengan
syarat belum makan dan minum sedikitpun
sejak fajar). [12]
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Gus. Step Bay Step Puasa Ramdhan
Bagi Orang Sibuk. Jakarta: Elex Media
Komputindo. 2009.
Al-Jaziri, Abdurrahman. Puasa Menurut Empat
Mazhab (al-fiqh ’ala al-madzahib al-
arba’ah) . Jakarta: Penerbit Lentera.
1998.
Abdullah, Muhammad Husain. Mafahim
Islamiyah . Bangil- Jatim: Al-Izzah.
2003.
Faridl, Miftah. Puasa Ibadah Kaya Makna .
Jakarta: Gema Insani. 2007.
http://derisuyatma.wordpress.com/tag/cara-
penetapan-awal-akhir-ramadhan ,
(diakses 11 Maret 2013).
Qardhawi, Yusuf Al. Fatwa-fatwa kontemporer
2 . Jakarta: Gema Insani. 1995.
Qardhawi, Yusuf. Tirulah Puasa Nabi.
Bandung: PT Mizan Pustaka. 2010.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah (fiqhus sunnah) .
Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2008.
Wasil, Ali El Helwany. Fasting a Great
Medicine; Manfaat Luar Biasa Puasa,
Medis, Psikologis & Spiritual . Depok:
Pustaka IlMaN. 2008.
[1] Abdurrahman Al-Jaziri, Puasa Menurut Empat
Mazhab (al-fiqh ’ala al-madzahib al-arba’ah) ,
(Jakarta: Penerbit Lentera, 1998), hal 38-39.
[2] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah (fiqhus sunnah) ,
(Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), hal. 33-34.
[3] Muhammad Husain Abdullah, Mafahim
Islamiyah, (Bangil- Jatim: Al-Izzah, 2003), hal
283.
[4] Sayyid Sabiq, Op. cit , hal 13.
[5] Yusuf Al- Qardhawi, Fatwa-fatwa
kontemporer 2 , (Jakarta: Gema Insani, 1995), hal.
295
[6]http://derisuyatma.wordpress.com/tag/cara-
penetapan-awal-akhir-ramadhan , (diakses 11
Maret 2013).
[7] Yusuf Al- Qardhawi, op.cit, hal. 296- 297.
[8] Ali Wasil El Helwany, Fasting a Great Medicine;
Manfaat Luar Biasa Puasa, Medis, Psikologis &
Spiritual, (Depok: Pustaka IlMaN, 2008), hal. 32.
[9] DR. H. Miftah Faridl, Puasa Ibadah Kaya
Makna, (Jakarta: Gema Insani, 2007), hal. 43-44
[10] Yusuf Qardhawi, Tirulah Puasa Nabi,
(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2010), hal. 121.
[11] Ibid, hal. 122
[12] Gus Arifin, Step Bay Step Puasa Ramdhan
Bagi Orang Sibuk , (Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2009), hal. 131.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar